Dalam Segulung Film
Awalnya, aku ragu tentang siapa aku.
Sejak dulu aku sudah tinggal bersama Ayah di pecinan. Ayahku berdagang kurasa. Tiap hari kulihat dia menjaga meja berlaci banyak. Laci-laci itu begitu seringnya terbuka, lalu sejenak kemudian menutup diiringi suara khas Ayah yang mengucap "terima kasih". Berlembar-lembar uang keluar masuk dari sana.
Ayah selalu bekerja sendiri.
Dan ku tahu dia sangat menyayangiku.
Tiap hari dia merawatku. Sambil bersenandung menyanyikan lagu lama, dia menyapa ku setiap pagi. Dengan tekun pula dia membantu ku tampak selalu bersih dan cantik.
Waktu berlalu. Hari demi hari sudah terlewati.
Akhir-akhir ini Ayah selalu tampak murung. Kesedihan jelas tergambar di muka nya yang makin keriput. lembar-demi lembar uang pun makin jarang masuk ke laci-lacinya. Suara riang nya mengucap "terima kasih" pun mulai jarang kudengar.
Pada suatu malam dingin, berteman petir dan hujan, kulihat Ayah duduk termenung sambil memandang ku. Aku hanya bisa menunduk.
Sambil bangkit dari duduk nya dia berkata.
"Usaha ini sudah kalah dengan jaman. Harus kuakui kenyataan ini, kau sudah tak laku lagi."
Esok pagi nya aku bangun danmenemukan diriku tergeletak dalam tempat sampah bersama berrol-rol film lain nya.