"Kartini harus dipingit, dijodohkan dengan duda, susah melanjutkan sekolah dan menggapai impiannya, sementara bangsa ini sekarang hanya memperingatinya dengan memakai kebaya"Semua orang mungkin familiar dengan "Habis Gelap Terbitlah Terang", tapi sekarang ini ungkapan kartini lebih cocok ditambah hingga menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang, Setelah Terang Jangan Silau dan Lupa Belajar dari Kegelapan"
Hari kelahiran Kartini ditetapkan pemerintah sebagai Hari Kartini bukan tanpa alasan. Kartrini dianggap sebagai simbol emansipasi. Beliau jugalah yang menginisiasi perempuan untuk bisa setara dan terlebih bisa mengenyam pendidikan sehingga kaumnya makin maju.
Lalu sudahkan yang dicita-citakan Kartini tercapai?
Bagi sebagian orang mungkin akan melihat fakta presiden republik ini pernah seorang perempuan, ada pengusaha pertambangan hebat yang seorang perempuan, atau mungkin yang sering diblow-up televisi; ada perempuan yang tukang ojek, sopir busway, hingga pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Sampai di siru sajakah "emansipasi" di kalangan bangsa ini?
Kita semua yang menjawabnya, dengan versi yang berbeda-beda.
Menurut saya, emansipasi seperti arti katanya adalah persamaan, kesetaraan. Bukan berarti usaha untuk menjadi yang lebih baik, atau yang lebih tinggi derajatnya.
Tapi coba lihat, di berbagai bidang, batasan pria-wanita masih sangat jauh. Saya tidak hanya bilang wanita selalu dikalahkan, tapi juga saya menyebut, pria pun kadang dikalahkan.
Tidak percaya?
Kalau semuanya setara, buat apa ada ladies first?
Bila semuanya setara buat apa di persyaratan job vacancy harus ada "diutamakan pria"?
Jika emansipasi benar-benar terjadi dengan ideal, demi apa masih ada wanita yang bangga dengan kemolekan tubuhn dan kecantikan wajah, dan dengan sadar menggunakannya demi mencapai keinginan dan kebutuhannya?
Kalau kesetaraan gender sudah tercapai, masih kah harus mengkotak-kotakan memasak dan merias itu pekerjaan wanita sementara meencangkul di sawah itu hanya layak dikerjakan pria?
Kenapa?
Kembali lagi ke peringatan Hari Kartini.
Secara tidak sadar, justru para perempuan ini (tidak semuanya memang) yang mengaburkan arti peringatan hari mulia ini dengan hal-hal yang justru kontradiktif dan ironik.
Kalau perempuan mau dianggap sama kuat dengan lelaksi buat apa selalu diaadakan lomba keluwesan?
Kalau pria mau disejajarkan sama hebat dengan perempuan, buat apa selalu ada lomba masak pria di Hari Kartini?
Kalau masih saja bingung, sudahlah, ganti saja spanduk-spanduk itu dengan "Peringatan Hari Kebaya Nasional" jangan lagi pakai tameng Kartini.